This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kelompok Isis

Kelompok ini mendorong BPNPT memblokir 22 situs bernuansa Islam di Indonesia

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 13 Januari 2015

Media dan Pertarungan Politik

KETIKA gegap gempita pemilihan presiden telah usai, semestinya pers Indonesia segera kembali pada khitah pers yang profesional: menjunjung tinggi etika dan konsisten menjalankan fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan kekuasaan.

Publik berharap tidak ada lagi pers yang pro Joko Widodo atau yang pro Prabowo. Yang ada tinggal pers yang mampu bersikap kritis sekaligus proporsional terhadap pemerintah, DPR, lembaga yudikatif, partai politik, kekuatan pemodal, bahkan unsur masyarakat sipil.

Namun, huru-hara politik ternyata belum berakhir. Pertarungan politik berlanjut dalam perebutan jabatan strategis di DPR dan kemungkinan juga jabatan-jabatan strategis lainnya. Drama sengit pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) jelas mengindikasikan hal itu. Masalahnya kemudian, para pemilik media masih menjadi tokoh kunci dari kubu-kubu yang terlibat dalam pertarungan politik tersebut. Tak pelak lagi, bayang-bayang pers yang partisan masih menghantui kita. Pengerahan media sebagai instrumen propaganda politik masih mungkin terjadi lagi dan ruang publik media kembali terancam direcoki urusan-urusan partikular sepihak pemilik media dan jaringan politiknya.

Memberitakan konflik

Konflik, apa pun bentuknya, adalah oase yang tak pernah kering dalam liputan media (George Wang, 1980). Konflik selalu memiliki daya-magnetik untuk menyedot perhatian khalayak. Maka, wajar jika sajian utama pemberitaan media kita hari ini adalah konflik politik dalam berbagai bentuk.

Bagaimana media semestinya menyikapi konflik? Kita dapat menjawabnya secara negatif: tidak berlebihan mengomodifikasi konflik, tidak memperkeruh konflik, tidak menjadi pihak. Masyarakat sangat membutuhkan informasi tentang konflik politik dan, oleh karena itu, pemberitaan konflik politik sering diandalkan untuk menjaga pergerakan oplah, rating, share, atau hit. Namun, media juga harus memperhatikan urgensi dan dampak pemberitaan. Jangan sampai pemberitaan media yang menggebu-gebu justru mempersulit upaya rekonsiliasi atau penyelesaian konflik. Media harus menjadi penyusut konflik dan bukan pembengkak konflik.

Secara etis, media juga harus berjarak dari konflik dan tidak menjadi pihak. Keberpihakan akan menghalangi media melihat persoalan secara jernih. Menggunakan istilah Bill Kovack (2008), media seharusnya tidak mencari musuh atau sebaliknya mencari kawan. Media harus bersikap kritis dan selidik terhadap semua pihak.

Tugas media kemudian adalah membantu masyarakat memahami duduk-perkara dengan cara menyajikan plus-minus dari fakta, ide, atau pilihan-pilihan yang sedang diperdebatkan secara memadai dan independen, memeriksa fakta. Untuk itu, media harus melakukan proses verifikasi secara disiplin dan konsekuen.

Keberpihakan media

Apakah dengan demikian media tidak boleh berpihak? Setelah memeriksa fakta dengan saksama dan kritis, media sesungguhnya bisa saja menyatakan sikapnya. Kita bisa mengambil contoh kasus RUU Pilkada. Media yang profesional menunjukkan plus-minus dari pilihan pilkada langsung oleh rakyat ataupun pilkada oleh DPRD. Media bersikap kritis terhadap keduanya. Namun, setelah menyajikan kelemahan dan kelebihan masing- masing, bisa saja akhirnya media menyatakan pilihan yang satu lebih baik daripada pilihan yang lain. Namun, hal ini tidak dilakukan secara membabi buta, tetapi secara argumentatif.

Harus diakui, ada perbedaan pandangan tentang keberpihakan media di sini. Pandangan pertama menyatakan bahwa tugas media cukup menyajikan data dan informasi secara lengkap tanpa harus berpihak. Selanjutnya, biarkanlah masyarakat menentukan sikap secara mandiri.

Pandangan kedua menyatakan bahwa dalam situasi yang genting, pers harus mendorong masyarakat menentukan sikap dan tidak sekadar menyajikan informasi secara netral. Bersikap netral ketika masyarakat sedang menghadapi krisis adalah suatu amoralitas. Sebaliknya, mengarahkan masyarakat ke suatu pilihan politik yang lebih baik adalah suatu kebajikan.

Terhadap pandangan yang ”membenarkan” keberpihakan media ini perlu ditambahkan dua sangkalan. Yang pertama, khalayak media adalah masyarakat dengan kemajemukan pilihan dan sikap politik. Dalam pilpres yang lalu ada masyarakat yang pro Jokowi, ada yang pro Prabowo, ada yang netral. Dalam pertarungan politik saat ini ada masyarakat yang pro Koalisi Merah Putih, pro Koalisi Indonesia Hebat, ada pula yang netral. Sebagai ”cermin masyarakat”, idealnya media mewadahi kemajemukan ini. Jika media memutuskan berpihak kepada satu pilihan politik saja, media harus siap ditinggalkan khalayak yang mempunyai pilihan berbeda atau yang netral.

Kedua, keberpihakan media semestinya terhadap nilai atau gagasan, bukan terhadap figur. Media sebagai institusi sosial semestinya tidak mempromosikan tokoh politik an sich, tetapi mempromosikan kebajikan, prinsip atau gagasan yang dibawa tokoh tersebut.

Katakanlah banyak media mendukung Jokowi, bukan karena alasan-alasan pribadi yang dapat mengarah kepada fanatisme individu, melainkan karena Jokowi menawarkan nilai perubahan, kesederhanaan, bersih-diri, kerja-keras, dan semacamnya. Fanatisme individu akan menghalangi kita bersikap kritis ketika saatnya nanti sang tokoh melakukan kesalahan dan membutuhkan kritik dari suatu jarak tertentu. Padahal, bersikap kritis dari suatu jarak inilah esensi utama jurnalisme, yang membedakan media profesional dengan media partisan.
Menggali kubur sendiri

Singkat kata, keberpihakan media secara moral dimungkinkan, tetapi harus diperhitungkan benar konteks, urgensi, dan risikonya. Bisnis media sangat sensitif terhadap persoalan kredibilitas dan integritas.

Fakta menunjukkan bahwa sikap partisan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden yang lalu sempat menggoyahkan sisi bisnis beberapa media: rating melemah, pendapatan menurun, dan harga saham terkoreksi. Masyarakat mempunyai banyak pilihan sumber informasi dan tidak memiliki kesetiaan tunggal terhadap suatu media. Kalangan pengiklan sangat sensitif terhadap persepsi masyarakat, misalnya sebagaimana tecermin dalam sinisme di media sosial.

Meminjam kalimat Ashadi Siregar, media yang mengkhianati publik dan menjadi badan organik dari kekuatan politik ataupun orientasi kepentingan subyektif pemiliknya adalah media yang secara sosiologis menggali liang kuburnya sendiri. Media yang seperti itu niscaya ditinggalkan oleh masyarakat sebagai institusi sosial dan kemudian juga dihindari oleh pengiklan dan pasar saham sebagai institusi bisnis.

Agus Sudibyo Redaktur Pelaksana Jurnal Prisma

Sumber: Kompas com, Jumat, 7 November 2014 | 08:42 WIB
link: http://nasional.kompas.com/read/2014/11/07/08423321/Media.dan.Pertarungan.Politik

Membelah Indonesia

Oleh: Masdar Hilmy

”If you win the battle of minds, you win the battle of politics…”  (Manuel Castells, ”The Power of Identity”, 1997:12)

HARI-hari ini politik di gedung parlemen menjadi sangat reduktif dan distortif. Panggung politik jadi pertarungan saling menegasi dan mengalahkan melalui permainan zero-sum-game di antara dua kubu: Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.

Seolah tiada kosakata lain di jagat politik parlemen kecuali memenangi pertarungan. Sejak dilantik pada 1 Oktober lalu, hampir tak ada aktivitas signifikan yang mampu melahirkan gagasan besar di kalangan anggota DPR kecuali perebutan kursi kekuasaan. Akibatnya, belum satu pun dari ketiga fungsi pokok anggota DPR—legislasi, pengawasan, dan budgeting—yang tersentuh.

Pada awalnya adalah polarisasi atau keterbelahan: keterbelahan realitas politik, keterbelahan pemerintahan, dan keterbelahan peta politik di gedung parlemen. Ironisnya, potret keterbelahan ini sama sekali tidak merepresentasikan keterbelahan di masyarakat. Jika mau jujur, masyarakat sudah melupakan pertarungan pilpres tempo hari. Bahkan, mereka terlihat larut dalam euforia pelantikan Jokowi sebagai presiden. Ini mengirimkan pesan: pertarungan politik di tingkat elite belum tentu kongruen dan ekuivalen dengan kehidupan sehari-hari di akar rumput.

Dramaturgi politik

Dalam derajat tertentu, perhelatan politik di parlemen merupakan miniatur dari perhelatan politik di tingkat negara-bangsa. Idealnya, tiap persoalan yang muncul di tingkat kebangsaan dan kenegaraan dianalisis, diurai, dan diselesaikan di gedung parlemen. Setiap produk politik parlemen kemudian dilaksanakan oleh jajaran eksekutif di tingkat praksis. Gedung parlemen beserta segala atribut dan aktivitas politiknya, dengan demikian, merupakan laboratorium bersama untuk membahas berbagai persoalan penting menyangkut kehidupan berbangsa-bernegara dalam pengertian luas.

Namun, yang terjadi tidak demikian. Antara gedung parlemen dan kehidupan berbangsa-bernegara seakan tak saling bersahutan. Masing-masing berjalan sesuai skenario yang berbeda. Persis seperti panggung drama. Kedua panggung menyediakan skenario atau alur cerita yang saling berlainan. Meminjam konstruk teoretik Erving Goffman dalam karyanya, Presentation of Self in Everyday Life (1959), panggung tersebut masing-masing tidak saling berhubungan, bahkan terkadang bertolak belakang.

Goffman menggunakan istilah panggung depan (front-stage) dan panggung belakang (back-stage) untuk menggambarkan dua pola perilaku yang berbeda. Pada panggung depan, seorang individu cenderung memperagakan perilaku yang tidak otentik alias kamuflase, palsu, dan menipu. Namun, kepalsuan yang dia pertontonkan ditujukan semata-mata untuk memuaskan emosi para penonton. Dengan kata lain, di panggung depan seseorang tidak menjadi dirinya sendiri, tetapi menjadi orang lain.

Begitu kembali ke panggung belakang, dia pun kembali ke asalnya. Dia melepas seluruh peran dan atribut teatrikal yang telah dimainkan dan kembali ke identitas kedirian yang otentik. Tidak ada lagi kepura-puraan, tiada lagi permainan peran. Di panggung belakang kehidupan tidak bisa dimanipulasi. Semua berjalan asli, alami, dan tanpa basa-basi. Artinya, seseorang di panggung belakang selalu memperlihatkan keotentikannya.

Paralel dengan analisis Goffman di atas, panggung politik parlemen merupakan panggung depan yang tak jarang memperlihatkan kepalsuan-kepalsuan. Identitas kedirian yang dipertontonkan di panggung depan sering kali tidak mewakili identitas kedirian yang sesungguhnya. Para elite politik di gedung parlemen memang paling sering berbicara mewakili rakyat, tetapi apa yang diperagakan sering kali tidak nyambung dengan realitas kehidupan yang sebenarnya. Sepak terjang para elite politik kita sering kali tidak menyahuti kebutuhan rakyat kebanyakan. Intinya, ada keterputusan peran antara gedung parlemen dan kehidupan berbangsa-bernegara yang sesungguhnya.

Memenangi pertarungan

Sebagaimana banyak digambarkan sejumlah pengamat, kondisi politik kita tengah mengalami keterbelahan. Kondisi keterbelahan ini, konon, berawal dari pertarungan dua calon presiden pada pilpres tempo hari, yang akhirnya dimenangi pasangan Jokowi-JK. Pertarungan dua kubu ini kemudian berlanjut di gedung parlemen antara pendukung Prabowo melalui KMP dan pendukung Jokowi-JK melalui KIH.

Jika melihat nama yang digunakan sebagai identitas kelompok, mestinya tiap koalisi memperlihatkan etika dan kinerja politik yang selaras dan senapas dengan nama-nama yang diusung. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya: kubu masing-masing bertarung memperebutkan hal- hal yang menggerus nama-nama tersebut. Bahkan, terdapat kecenderungan pelecehan terhadap nama-nama yang disandangnya. Nama-nama tersebut jelas terlalu agung untuk dikerdilkan sekadar pertarungan di antara dua kubu untuk memperebutkan kursi jabatan, kekuasaan, dan kepentingan jangka pendek. 

Dengan demikian, pertarungan yang berkecamuk di gedung parlemen bukanlah pertarungan melawan kejahatan dan musuh bersama. Bukan pula pertarungan untuk memenangi hati dan pikiran rakyat. Tapi pertarungan picik melawan diri mereka sendiri. Sungguh pertarungan di antara keduanya tidak memberikan manfaat apa pun bagi rakyat, kecuali kerugian demi kerugian.

Para elite politik tampaknya perlu disadarkan bahwa mereka telah salah memaknai dan mengidentifikasi ”musuh”. Musuh sejati para elite politik di parlemen bukanlah sesama anggota parlemen, tetapi berbagai persoalan yang tengah membelit bangsa ini: korupsi, kemiskinan, kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan semacamnya. Mestinya tiap-tiap kubu koalisi bertarung di tingkat gagasan untuk melahirkan solusi cerdas agar bangsa ini mampu mengatasi berbagai persoalan dimaksud. Bagaimana kehadiran mereka dapat membawa Indonesia lebih baik jika energi mereka dihabiskan untuk bertarung atas hal-hal kecil?

Jika dalam jangka panjang mereka menghabiskan masa kerjanya hanya untuk saling memenangi pertarungan, bisa dipastikan mereka akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Jika mereka tidak mengubah haluan, pada saatnya nanti parpol akan ditinggalkan masyarakat. Sikap dan perilaku mereka jelas merugikan negeri ini. Keterbelahan politik, dalam tataran ekstrem, dapat membelah bangsa ini. Keterbelahan politik sudah pasti menghambat kinerja pemerintah dan jajaran kabinetnya.

Oleh karena itu, keterbelahan politik di parlemen harus segera diakhiri dan disublimasikan ke dalam pertarungan yang elegan, yakni pertarungan di tingkat gagasan untuk memenangi hati dan pikiran rakyat. Jika keterbelahan politik merupakan realitas yang harus diterima, tiap kubu harus mempertontonkan jual-beli argumen untuk membuat Indonesia lebih baik. Sebagaimana ditegaskan Manuel Castells, seperti dikutip di awal tulisan ini, Anda akan memenangi pertarungan politik jika Anda memenangi pertarungan di tingkat gagasan.

Masdar Hilmy
Wakil Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel

Sumber: Kompas com, Selasa, 4 November 2014 | 06:34 WIB
link: http://nasional.kompas.com/read/2014/11/04/0634024/Membelah.Indonesia

Menafsir dan Melembagakan Oposisi

Terlepas dari pelbagai soal negatif, seperti kampanye hitam dan sinyalemen politik uang, Pemilihan Umum Presiden 2014 pada dasarnya paling menarik dan dinamis dibandingkan dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden periode-periode sebelumnya.

Hal ini karena kedua calon presiden-wakil presiden memiliki pandangan, gaya, dan cara berkompetisi yang berbeda secara diametral dalam upaya menarik dukungan pemilih.

Walaupun masih harus menunggu hasil sidang atas gugatan pasangan nomor urut 1 di Mahkamah Konstitusi, teka-teki siapa bakal calon presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2014-2019 terjawab sudah dengan hasil penghitungan sesungguhnya atau real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang dengan perolehan 53,15 persen suara sah nasional.

Pikir ulang

Di sisi lain, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang semula diramalkan menjadi pemenang, memperoleh 46,85 persen. Tak pelak, kekalahan itu membuat sebagian elite partai politik (parpol) yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih harus memikirkan ulang kemungkinan membawa partainya masuk ke barisan pemerintahan demi memperoleh kursi kabinet atau posisi strategis yang lain.

Keinginan elite parpol yang oportunis ini, meski sesuatu yang wajar, sesungguhnya merupakan cermin dari ketidakdewasaan dalam berpolitik.

Selain kebutuhan atas akses pada sumber daya, kekhawatiran terbesar yang dihadapi suatu partai, jika menempatkan diri sebagai oposisi, akan dianggap sebagai faktor penyebab instabilitas dan kekuatan destruktif dalam sistem politik nasional yang demokratis.

Pandangan demikian jelas keliru mengingat oposisi pada dasarnya adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dengan tugas mengontrol penguasa, mendorong kompetisi politik, dan membantu meningkatkan keefektifan kebijakan pengelolaan negara.

Embrio oposisi

Selain posisi yang berbeda dan gaya kepemimpinan politik kedua pasangan capres, keinginan Joko Widodo, khususnya untuk membangun koalisi tanpa syarat (baca: bagi-bagi kursi), pada dasarnya merupakan modal bagi tumbuhnya oposisi yang sejati. Memang, sejak proklamasi kemerdekaan 1945, oposisi nyaris tidak dikenal apalagi dikembangkan dalam sistem politik di Indonesia.

Yang lebih ironis lagi adalah gerakan reformasi politik tahun 1998 tidak menumbuhkan dan melembagakan kekuatan oposisi di parlemen. Kalaupun ada yang disebut oposisi, praktiknya bersifat parsial, temporal, dan tidak institusional.

Praktik oposisi selama ini cenderung merepresentasikan kepentingan kelompok dan transaksional. Padahal, suara kritis partai politik melalui wakilnya di DPR sebenarnya sebagai embrio dari bentuk oposisi.

Persoalannya adalah bagaimana melembagakan suara yang berbeda di DPR tidak bersifat kelompok, tetapi mewakili sikap politik partai atau aspirasi publik yang tidak diserap pemerintah yang berkuasa sehingga sikap kritis DPR tidak lagi dilihat publik sebagai upaya ”menjegal” atau ajang ”transaksional” belaka terhadap rencana kebijakan pemerintah sebagaimana yang berlangsung dalam kehidupan politik selama ini.

Terhambatnya budaya politik oposisi juga dilatarbelakangi oleh berkembangnya persepsi yang keliru di tengah masyarakat luas akan makna oposisi. Seolah-olah partai yang beroposisi dianggap pembuat onar dan biang keladi dari kekisruhan politik. Padahal, suara kritis dan berbeda di parlemen memang merupakan peran dan tugasnya, yaitu mengusulkan, mengkritik, dan mendorong perubahan kebijakan pemerintah. Dalam kaitan ini, setidaknya ada tiga peran yang harus dilakukan.

Tiga peran

Pertama, menyuarakan kepentingan masyarakat yang ”diam” di mana jika partai oposisi mutlak menyampaikan pandangan atas berbagai persoalan penting dari pemilih dan sekaligus membantu dan memastikan bahwa persoalan tersebut diakomodasi dan tidak diabaikan oleh pemerintah.

Hal ini juga berfungsi sebagai ventilasi dari ekspresi suara masyarakat yang tidak tersalurkan. Peran ini sekaligus untuk membangun kepercayaan rakyat bahwa kepentingannya dapat dilindungi.

Kedua, sebagai lembaga alternatif terhadap pemerintah. Mengingat demokrasi terkait dengan pilihan, partai oposisi bisa berperan sebagai pengingat bagi pemilih bahwa ada alternatif lain di samping pemerintah. Misalnya, menyadarkan para pemilih bahwa isu peningkatan kualitas hidup rakyat juga dapat dilakukan oleh oposisi.

Ketiga, sebagai lembaga resmi dan mitra pemerintah dalam pembangunan bangsa.

Ketiga peran tersebut menggambarkan bahwa tujuan partai oposisi adalah mengupas berbagai kebijakan pemerintah secara kritis dan masuk akal. Ibaratnya, oposisi selalu mengambil sisi lain dari sebuah koin yang kurang diperhatikan pemerintah.

Namun, yang paling utama dari keberadaan oposisi adalah melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan yang dilakukan penguasa, seperti penyalahgunaan kekuasaan, hambatan birokrasi, pelanggaran hak-hak asasi manusia, pemborosan dana publik, dan isu publik lainnya.

Oposisi rakyat

Ketiadaan oposisi yang terlembaga dalam kehidupan politik kelak dapat mengancam pelembagaan demokrasi di masa depan. Kurang berfungsinya partai politik di DPR dalam menjalankan peran kontrol sekaligus menawarkan kebijakan alternatif kepada pemerintah akan membuka peluang bagi tumbuh berkembangnya kekuatan rakyat melalui berbagai gerakan ekstra-parlemen yang jauh lebih dahsyat.

Situasi demikian juga akan memunculkan krisis legitimasi terhadap pemerintah dan partai politik. Karena itu, salah satu tugas presiden terpilih adalah turut berkontribusi membangun oposisi di parlemen. Sejarah telah membuktikan bahwa kebebasan dan rasionalitas publik akan mati tanpa pelembagaan suara yang kritis.

Suhardi Suryadi
Direktur Program Prisma Resource Centre

Sumber: Kompas com, Jumat, 15 Agustus 2014 | 14:00 WIB
link: http://nasional.kompas.com/read/2014/08/15/14000071/Menafsir.dan.Melembagakan.Oposisi

Menang dan Kalah dalam Politik

Oleh: Dorodjatun Kuntjoro-Jakti

SAYA tak akan pernah lupa pada kejadian mendadak di Gedung Putih, Washington DC, pada pertemuan terakhir antara Presiden Bill Clinton dan Presiden Abdurrahman Wahid.

Sesudah pertemuan ketiga itu, Gus Dur dilengserkan MPR. Tak lama kemudian, sebelum balik ke Indonesia (karena tugas sebagai duta besar telah selesai), saya sempat mengantar presiden keempat RI ini ke pemeriksaan kesehatan rutin di Johns Hopkins Hospital, Baltimore. Mengagetkan. Tak seperti biasa, Clinton mengantar Gus Dur sampai ke pintu mobil KBRI. Seperti biasa saya mendampingi Gus Dur di sebelah kiri beliau; Clinton mendampingi rapat beliau di sebelah kanan dan masih sempat mengobrol kecil. Di pintu mobil Clinton menjabat tangan Gus Dur dengan erat dan menyampaikan pesan: ”Mr President, I wish Indonesia a great success. A successful Indonesia will help to characterize the 21st century. Indonesia is now world’s third largest democracy. Indonesia is the fourth largest population. Indonesia has the largest Moslem population in the world. Mr President, if Indonesia can show to the world that Islam and democracy are compatible, you show the way.”

Saya bangga mendapat peluang sebagai Menko Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati Soekarnoputri untuk turut mempersiapkan Pemilu Presiden 2004 yang merupakan langkah awal perjalanan demokrasi terbuka di Indonesia. Tidak sekadar menyiapkan dana serta logistik yang luar biasa besar dan kerumitannya, tetapi juga mengisi kekosongan di tingkat menko dan beberapa menteri. Maklum, hampir separuh kabinet terjun dalam pemilu itu, bahkan sebagian sebagai calon presiden/wakil presiden.

Sambil saya merampungkan program IMF warisan Presiden Soeharto (yang terdiri atas seki- tar 130 kegiatan besar), bersama Menkeu Boediono dan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Indonesia telah berhasil melaksanakan Pemilu 2004 yang langsung dan terbuka itu dengan tertib dan damai. Saya membawa satu bus para duta besar negara sahabat keliling Jakarta hampir sepanjang hari. Mereka kagum atas partisipasi rakyat yang bersemangat tanpa ketegangan apa pun. Hasil kegiatan pemilu ini diolah dengan komputer di kantor pusat KPU dan di auditorium besar Hotel Borobudur. Termasuk kegiatan hitung cepat yang berlangsung mulus dan diikuti ribuan wartawan sejumlah media dalam dan luar negeri.

Dengan kesertaan para pemilih dan rakyat Indonesia yang pada umumnya bersemangat dan ikhlas ini, saya menyaksikan hal serupa pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Saya menyaksikan bagaimana harapan Clinton kepada Gus Dur terbukti di tengah gabungan reformasi/desentralisasi/demokratisasi di negara yang kita cintai ini.

Sumbangan pikiran

Sambil merenung dan menganalisis, saya punya beberapa sumbangan pikiran yang—dengan ucapan maaf—ingin disampaikan kepada yang menang atau yang kalah dalam pergulatan politik beberapa bulan terakhir ini.

Betul bahwa politik adalah penentu ”siapa yang dapat apa”. Itu sebabnya tak jarang yang menang dengan gampang bersikap ”yang menang dapat semua dan apa saja pada setiap saat”. Namun, jangan juga dilupakan, politik mencerminkan kepiawaian, bahkan seni, buat mencari kompromi. Atau, tak ada yang tak mungkin dalam politik. Sejarah kita mencatat, bagaimana para pendiri RI kuat di dalam kemauan berkompromi saat membahas Mukadimah dan batang tubuh UUD 1945 beserta pasal-pasal penjelasannya serta konflik fisik PRRI–Permesta dan pemerintah pusat yang diakhiri dengan kompromi pada tingkat militer di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution.

Karena politik melibatkan berbagai aktor, mulai dari calo-calo politik di bagian paling bawah, lalu kelompok lobi yang berkerumun di seputar politisi, untuk memengaruhi para negarawan di bagian teratas, yang menonjol adalah kepentingan jangka pendek. Makin demokratis suatu sistem politik, makin menonjol peran kepentingan jangka pendek di dalam pergulatan politik. Situasi seperti ini pernah kita lihat dalam praktik dagang sapi yang mencuat pada era Demokrasi Parlementer 1950-1957. Sejak Pemilu 2004, praktik itu berkecamuk kembali di hampir semua lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Kepentingan politik jangka pendek ini bertebaran di dalam sistem politik, mulai dari yang bersifat oportunisme, lalu yang bersifat pragmatisme, dan sedikit saja yang tak bersifat transaksional—yang ditujukan untuk merumuskan macam kebijakan bagi kelangsungan kehidupan bangsa-negara. Itulah yang dicoba kekang Presiden Soekarno dengan sistem Demokrasi Terpimpinnya dengan didekritkannya ”kembali ke UUD 1945” pada 1959. Sejak saat itu sampai dengan saat Reformasi, GBHN digunakan mengendalikan dan meredam politik dagang sapi itu.

Tak heran, politik kemudian sering diwarnai rujukan yang paling rendah nilainya karena tarikan kepentingan jangka pendek itu. Maklum, yang menentukan keberhasilan bertahan di dalam posisi sebagai pemenang adalah keberhasilan memuaskan beragam kepentingan jangka pendek pendukungnya dan peserta koalisi. Pihak yang kalah pun akan melakukan oposisi dengan serangan bersifat kepentingan jangka pendek.

Karena itulah, sekali koalisi politik mau ditarik keluar dari oportunisme atau pragmatisme, koalisi itu terancam keutuhannya. Ini terjadi saat pihak tertentu di koalisi ingin memanfaatkan koalisi buat mengejar kepentingan berjangka lama atau yang bersifat mendasar, bahkan yang bersifat ideologis. Pemerintah Orde Baru selalu mengingatkan akan bahaya besar dari terseretnya kepentingan yang bersifat SARA itu. Ini sebenarnya telah diletakkan landasannya dalam perumusan Pancasila dan Mukadimah UUD 1945.

Politik selalu muncul sebagai peristiwa pisau bermata dua. Yang menang selalu harus siap buat kalah; yang kalah selalu harus pandai memanfaatkan peluang terbuka. Apalagi, kalau sistem kepartaian masih diwarnai sifat ”aliran politik” dan/atau dikuasai oligarki para elite politik, koalisi sulit bertahan lama dalam keadaan utuh seperti yang ada pada awal perjalanannya. Tipu muslihat, bahkan tindakan menggunting dalam lipatan atau menohok kawan seiring, merupakan hal biasa dalam politik. Itulah sumber dari kesan bahwa politik itu kotor. Bagaimanapun kukuhnya koalisi, selalu terbuka peristiwa bajing loncat atau desersi.

Oleh karena itu, kemenangan saat ini bukan jaminan buat kemenangan di mana-mana, di dalam kehidupan politik, apalagi pada saat pemilu berikutnya. Ini berlaku selama periode antarpemilu, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Patut diingat: melontarkan janji sewaktu kampanye tak akan mudah dipenuhi pada saat menang, apalagi pada bulan-bulan awal. Perlu selalu waspada bahwa antusiasme dan kekecewaan mudah berganti posisi seperti membalik telapak tangan. Politik adalah kuda liar yang sulit ditunggangi.

Itu terjadi karena politik memerlukan aneka sumber untuk keberhasilan dalam memenuhi janji-janji tadi. Sumber politik bukan sekadar dana, tenaga, waktu, atau kapasitas organisasi, melainkan juga dukungan informasi, opini publik, loyalitas para pemilih. Yang menang atau yang kalah tak bisa selalu yakin bahwa semua sumber itu akan selalu ada dan pada saat diperlukan. Isu yang bermunculan dari dalam dan luar akan berpengaruh kepada perilaku sumber tersebut sebagai pemangku kepentingan. Di tengah globalisasi: sumber dana yang diperlukan suatu ekonomi bisa segera masuk, tetapi juga bisa segera keluar. Di tengah demokrasi: opini publik bisa berubah cepat.

Yang terpenting

Yang terakhir dan terpenting, sikap pemenang yang ikut garis the winner takes all rasanya tak cocok dengan budaya bangsa Indonesia. Rezim demi rezim sejak kemerdekaan menunjukkan bagaimana sikap itu merupakan sumber keruntuhan. Saat rezim itu krisis dan jatuh, pada saat itulah rakyat Indonesia biasanya akan balik bersatu ke garis budaya politik musyawarah-mufakat. Demikian dari masa ke masa, seperti sebuah dalil tentang bandul jam penunjuk perubahan waktu yang terus saja bergoyang ke kiri ke kanan. Saat Proklamasi 1945 didengungkan, saat itu persatuan yang utuh dari rakyat Indonesia muncul. Ini juga terjadi saat Konfrontasi Irian Barat dan krisis dahsyat Gestapu. Terakhir, saat Indonesia diserang krisis multidimensi 1997-2001.

Saya kira pelajaran sejarah politik Indonesia di atas menunjukkan keperluan kita semua untuk selalu ingat pesan: kekuasaan, seperti apa pun wujudnya, selain memiliki sumber awal, juga pasti ada sumber akhirnya yang merongrong eksistensinya. Maka, jangan tahu apa itu kekuasaan sesudah kekuasaan itu lewat. (Seperti juga: jangan tahu muda saat sesudah tua, atau tahu sehat saat sakit). Harus selalu ingat pada saat menang dan saat kalah bahwa sebetulnya kita berhadapan muka ke muka dengan nasib, destiny, yang penuh rahasia. Sejarah selalu berjalan ke depan.

Demokrasi memerlukan keadaban, yang buat bangsa Indonesia adalah hidup secara musyawarah-mufakat dan dengan jiwa gotong royong. Landasan perjuangan bangsa ini telah disimpulkan Sumpah Pemuda 1928. Reformasi, demokratisasi, desentralisasi sejak 1998 sudah berhasil selamat menjalani Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014. Sayang kalau negara-bangsa yang mau berubah dan yang bersemangat ini justru berhadapan dengan aktor politik yang tak mau berubah, malah mau kembali ke masa lalu demi kekuasaan berlandaskan rujukan bernilai rendah. Semoga generasi milenium yang berpuluh juta terjun sebagai pemilih pemula pada Pemilu 2014 belajar dari masa lalu NKRI yang kaya pengalaman itu.

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Mantan Dubes RI untuk AS; Mantan Menko Perekonomian

Sumber: Kompas.com, Senin, 10 November 2014 | 06:36 WIB
link: http://nasional.kompas.com/read/2014/11/10/06364741/Menang.dan.Kalah.dalam.Politik

Menara Gading

Oleh: James Luhulima

Joko Widodo yang akrab disapa dengan Jokowi telah beberapa kali berada di posisi pemimpin, antara lain sebagai wali kota dan gubernur. Dan, jika Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Agustus mendatang akhirnya memutuskan tidak ada yang salah dengan pemilu presiden yang diselenggarakan pada 9 Juli lalu, Jokowi akan menjadi pemimpin tertinggi di negara ini.
Sama seperti Jokowi, Prabowo Subianto pun dalam karier militernya berulang kali menjadi pemimpin, terakhir sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Dan, setelah diberhentikan dari militer, Prabowo menjadi pemimpin Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Persoalan dengan para pemimpin adalah mereka selalu diistimewakan dan ditempatkan di tempat yang tertinggi. Dan, jika mereka tidak berhati-hati, mereka akan ditempatkan sedemikian tinggi seperti duduk di menara gading, dan terasing dari realitas di sekitarnya.

Saat menjadi wali kota dan gubernur, melalui gaya blusukan-nya, Jokowi memahami realitas di sekitarnya. Namun, seandainya nanti Jokowi menjadi presiden, tentunya gaya blusukan ini tidak mudah lagi dilakukan. Tentunya Jokowi harus mencari cara baru untuk tetap dapat memahami realitas di sekitarnya.

Pemimpin dikelilingi oleh orang-orang dekatnya, yang disebut dengan inner circle, orang-orang yang berada di lingkar dalam. Pengetahuan pemimpin mengenai keadaan di sekitarnya diperolehnya dari laporan orang-orang yang berada di lingkar dalam, yang belum tentu sesuai dengan realitas di sekitarnya. Dan, jika keadaan seperti itu terus berlangsung, lama-kelamaan pemimpin itu terasing dari realitas di sekitarnya.

Menjelang Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 9 April 2014, dalam percakapan di kediamannya, Prabowo menyatakan keyakinannya bahwa Gerindra akan meraih 20 persen suara. Waktu itu beberapa survei yang diadakan menyebutkan perolehan suara Gerindra di bawah 12 persen. Ketika ditanya mengapa ia sangat yakin Gerindra akan meraih 20 persen suara, Prabowo menyebutkan, ”Kami memiliki hitungan sendiri yang dilakukan oleh kader-kader Gerindra di daerah-daerah, dan dari hitungan kami, Gerindra akan meraih 20 persen suara.”

Namun, keyakinan itu tidak sesuai dengan realitas. Menurut perhitungan akhir Komisi Pemilihan Umum (KPU), Gerindra hanya meraih 11,81 persen suara.

Hal yang sama berulang pada pemilihan presiden secara langsung (pilpres) 9 Juli 2014. Hasil perhitungan akhir KPU menyebutkan, Jokowi unggul. Akan tetapi, Prabowo tetap yakin bahwa dialah yang menang dalam pilpres itu. Ia membawa persoalan itu ke Mahkamah Konstitusi.

Presiden Soeharto (1968-1998) mengalami hal itu. Kekuasaan yang semakin besar membuat orang-orang yang berada di lingkar dalamnya pada akhirnya hanya menyampaikan informasi yang ingin didengar oleh Soeharto. Asal bapak senang (ABS), dan bukan realitas yang ada.

Akibatnya, ketika pada awal tahun 1998 Soeharto menanyakan apakah rakyat masih menginginkan ia menjadi presiden untuk periode 1998-2003? Dengan serentak orang-orang yang berada di lingkar dalam, menjawab, ”Masih!” Oleh karena pada saat itu mereka menilai, jawaban seperti itulah yang ingin didengar oleh Soeharto. Pada saat itu, tidak ada satu pun di antara orang di lingkar dalam yang berani memberikan jawaban yang berbeda. Salahnya, jika itu dapat dikatakan sebagai kesalahan, Soeharto percaya sepenuhnya dengan jawaban mereka.

Hasilnya, Soeharto didesak rakyat untuk berhenti dari jabatannya sebagai presiden, hanya 70 hari setelah ia dilantik sebagai Presiden untuk periode 1998-2003, tepatnya 21 Mei 1998. Soeharto kemudian menyalahkan orang-orang yang berada di lingkar dalamnya karena dianggap tidak benar-benar mencari tahu keinginan rakyat yang sesungguhnya.

Tanggal 18 Mei 1998 malam, dalam percakapan dengan Nurcholish Madjid di kediaman Jalan Cendana No 8-10, Presiden Soeharto sempat disinggung soal pengunduran dirinya. Menurut Nurcholish (saat itu), Presiden Soeharto mengatakan, ”Saya kan sudah lama ingin itu… (mengundurkan diri). Ini, kan, gara-gara Harmoko (Ketua MPR) dan Fraksi Karya Pembangunan (orang-orang Golkar yang berada di MPR).” Namun, saat itu, tidak sedikit orang yang berpendapat, posisi Harmoko sangat sulit. Siapa yang berani mengatakan tidak pada Presiden Soeharto?

The Presidents Club
Presiden Amerika Serikat pun mengalami hal yang sama. Kekuasaan yang sangat besar yang tertumpu pada dirinya membuat ia terdorong tinggi ke atas. Namun, sistem demokrasi yang telah teruji lebih dari 200 tahun membuat mereka tidak terasing dari realitas di sekitarnya.

Namun, ada persoalan besar lain yang dihadapi Presiden AS. Tidak jarang ia terisolasi sendirian ketika ia harus mengambil keputusan penting dan strategis yang dampaknya sangat besar, atau memiliki kerahasiaan yang sangat tinggi. Sesuatu hal yang tidak dapat dibicarakan dengan siapa pun, termasuk orang-orang yang berada di lingkar dalam. Hal itu memberikan tekanan yang sangat besar pada diri presiden yang bersangkutan.

Jika tekanan itu sudah ke batas yang tidak dapat ditahan, ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali membicarakan hal itu dengan orang yang pernah berada di posisi yang sama, yakni presiden-presiden sebelumnya. Mereka pandai menjaga rahasia. John F Kennedy menelepon Dwight Eisenhower pada pagi hari menjelang ia mengumumkan akan mengisolasi Kuba yang bisa memicu perang nuklir. Bill Clinton menelepon Richard Nixon pada tengah malam untuk berbahas tentang Rusia dan Tiongkok.

Presiden dan para mantan presiden itu terwadahi dalam kelompok yang disebut The Presidents Club, atau kelompok yang paling eksklusif di dunia. Obama berhubungan baik dengan semua mantan Presiden AS. Obama pernah mengundang empat mantan presiden ke Ruang Oval di Gedung Putih, yakni George HW Bush (senior), George W Bush (yunior), Jimmy Carter, dan Bill Clinton, untuk ngobrol-ngobrol. Kelompok itu juga disebut dengan The Secret Society of American Presidents.

Sumber: Kompas com, Senin, 18 Agustus 2014 | 09:11 WIB
link: http://nasional.kompas.com/read/2014/08/18/09111471/Menara.Gading

Pasca Episode "Negeri Tanpa Telinga"

Oleh: Indra Tranggono

Rakyat sudah sangat lelah dan tidak butuh akrobat politik. Rakyat telah berkorban dalam pemilu presiden. Kini saatnya mereka menyodorkan rekening tagihan kepada presiden terpilih untuk mewujudkan semua janjinya saat kampanye.

Rakyat berharap, dengan kabinetnya yang profesional dan berkapasitas negarawan, presiden terpilih memiliki telinga yang peka untuk mendengarkan sekaligus meresapi tangisan rakyat.

Selama ini, rakyat—warga negara tanpa kekuasaan—hidup dalam ”negeri tanpa telinga”, seperti dalam film berjudul sama, garapan sineas Lola Amaria. Film produksi tahun 2014 itu berkisah tentang para penyelenggara negara dan politisi yang kehilangan telinga batin sehingga tak mampu menangkap, apalagi meresapi suara rakyat. Mereka justru asyik masyuk dengan kekuasaan yang dieksploitasi melalui korupsi. Tak hanya itu, mereka juga mengumbar skandal seks.

Rakyat tidak ingin kekuasaan kleptokrasi-hedonistik atau "rezim yang culas dan cabul" itu datang lagi. Rakyat berharap setelah episode "negeri tanpa telinga" akan muncul rezim yang bersih, berbudaya, dan betelinga tajam/peka. Rakyat pun telah jera dan traumatik dipimpin "rezim narsistik" yang sibuk bergincu memamerkan keelokan fisik, tetapi gagap dan gugup ketika bertarung dengan persoalan-persoalan riil, di mana nasib rakyat dipertaruhkan.

"Rezim narsistik" tak lebih dari manekin-manekin yang nangkring di etalase mal kekuasaan dan tidak pernah mencium ”harum” aroma penderitaan rakyat. Mereka hanya pamer gebyar cahaya pasar, sementara rakyat hidup tersuruk dalam kegelapan tanpa masa depan.

Kangen perubahan

Ketika parpol-parpol tak serius bekerja, subyek penting dalam pemenangan presiden terpilih adalah rakyat. Rakyat ikhlas menjadi relawan yang bekerja total, baik di dunia nyata maupun di jagat virtual. Karena kangen perubahan secara mendasar dan signifikan, jutaan galon energi mereka tumpahkan.

Mereka dengan gagah berani menghadang politik uang, intimidasi, dan rekayasa politik. Mereka tidak sedang melakukan mitologisasi atas tokoh, tetapi memperjuangkan nilai kebaikan yang makin kabur di negeri tanpa telinga ini.

Tentu dukungan masyarakat simpatisan dan partisipan atas tokoh yang terpilih menjadi presiden bukan tanpa reserve. Para relawan itu akan kembali ke jalan, membentuk parlemen merdeka untuk menyikapi secara kritis rezim yang berkuasa.

Artinya, presiden terpilih tak bisa "gede rasa" menganggap kecintaan rakyat atas dirinya tanpa batas dan tanpa revisi. Rakyat yang cerdas punya prinsip, sebuah pemerintahan akan bersih, menyejahterakan (pro publik), dan dicintai jika sanggup dikoreksi dan direvisi. Koreksi dan revisi menghindarkan kekuasaan lepas dari rel konstitusi.

Untuk itu, rezim yang terbentuk jangan berharap akan bisa leluasa mengeksploitasi kekuasaan demi melampiaskan dendam atas ”kelaparan” setelah lama berpuasa. Tugas suci dan pokok memimpin pemerintahan adalah mendistribusi kesejahteraan bagi publik, bukan menumpuk-numpuk kekayaan di gudang ambisi pribadi dan kelompok. Rezim yang berperilaku gandrung kekayaan terbukti jebol dihantam air bah kritisisme rakyat. Jadi, belajarlah pada sejarah Orde Baru.

Dalam sistem demokratis, pemerintahan bukan gedung tertutup dengan tembok masif tanpa jendela dan pintu, melainkan rumah kaca tembus pandang. Rakyat bisa mengamati dan menandai perilaku aktor-aktor rezim. Rakyat akan tahu siapa yang bekerja dan siapa yang hanya duduk manis sambil menghitung uang dan keuntungan.

Rakyat akan protes terhadap setiap upaya untuk memasang gorden atau tabir pemerintahan. Protes itu juga akan berbuncah ketika sebuah rezim ramai-ramai menyumpali telinganya dengan kapas atau gabus. Penderitaan rakyat pun akan lebih nyaring terdengar, menjelma gelombang energi yang menjebol sumpalan telinga itu.

Dalam memerintah berkontrak lima tahun, mestinya presiden terpilih menjadikan kesempatan sebagai momentum emas untuk memberi makna atas kerja politiknya. Makna itu bisa diwujudkan melalui kabinet yang bekerja penuh passion, sarat semangat profetik dengan kecerdasan akal-budi, keterampilan manajerial, serta ketajaman mata dan telinga. Kelak, rezim macam itu akan terasa indah dikenang rakyat. Saatnya diakhiri episode ”negeri tanpa telinga” agar rakyat kembali menemukan rumah kedaulatannya.

Indra Tranggono
Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

Sumber: Kompas com, Kamis, 14 Agustus 2014 | 10:00 WIB
link: http://nasional.kompas.com/read/2014/08/14/10000001/Pasca.Episode.Negeri.Tanpa.Telinga.

Pemimpin Berdaulat

Oleh: Ferdy Hasiman

"Yang berdaulat adalah dia yang mengambil keputusan pada saat gawat darurat”.

KONDISI gawat darurat yang digambarkan teolog politik Jerman, Carl Smith, di atas bukan keadaan biasa, melainkan situasi ketika republik sudah digiring ke luar rel UUD 1945. Sudah 69 tahun Indonesia merdeka, tetapi belum berdaulat secara ekonomi. Kondisi bangsa ini bak juggernaut alias truk besar yang melaju tanpa kendali.

Indonesia tidak lagi dikendalikan pemerintah, tetapi dikendalikan pihak asing. Korporasi asing menguasai 70 persen penguasaan minyak dan gas pertambangan batubara, bauksit, nikel, dan timah mencapai 75 persen, serta tembaga dan emas 85 persen.

Artinya, naik-turunnya lifting migas bergantung pada budi baik pihak asing yang mengontrol sektor hulu migas. Maju mundurnya hilirisasi pertambangan tergantung dari kesediaan Freeport (Grasbarg) dan Newmont, memasok bahan baku. Namun, Freeport dan Newmont sampai saat ini enggan membangun smelter dengan tameng tak ekonomis.

Dua perusahaan ini hanya ingin membangun smelter melalui pihak ketiga. Harapan agar pemimpin tegas terhadap korporasi asing hanya utopia. Presiden belum mampu menaikkan pajak dan royalti kepada korporasi tambang yang sudah menangguk untung besar. Presiden juga tak tegas memerintahkan korporasi asing membangun smelter dalam negeri meskipun sudah ada regulasinya.

Risikonya, cadangan pertambangan kita tergerus. Indonesia hanya memiliki cadangan batubara 20 miliar ton atau hanya 2,63 persen cadangan dunia.

Sementara ekspor batubara kita setiap tahun mencapai 309 juta ton. Cadangan terbukti nikel tersisa 1,028 miliar ton, tembaga 3,044 miliar ton, bijih besi 173,810 juta ton, dan bauksit 302,316 juta ton. (Badan Geologi, 2012).

Untuk menyelamatkan SDA dari jarahan korporasi asing, Indonesia memerlukan pemimpin berdaulat.

Bukan retorika

Pemimpin negeri ini ke depan harus bersih dan berani. Haram bagi pemimpin masuk ke panggung politik hanya untuk memperkaya diri. Filsuf Jerman, Hannah Arendt, mengatakan, urusan ekonomi masuk dalam kategori ”yang privat”, urusan pribadi.

Adapun ”yang politis” adalah ruang publik, ruang tempat kepentingan rakyat dibicarakan. Dalam ruang politis tak ada yang mendapat privilege khusus dari pemerintah. Mencampuradukkan urusan privat ke ruang publik menimbulkan kolonisasi ruang publik dan merusak seluruh tatanan politik yang telah terbangun.

Kekuasaan kemudian menjadi tidak transparan sehingga sulit mengusut kompromi politik dan deal gelap elite-elite bisnis-politik. Demokrasi, yang sedianya menjadi urusan publik, berubah menjadi urusan privat dan tempat bersembunyi mafia bisnis-politik. Risiko terjadinya conflict of interest dalam mengeksekusi kebijakan publik sangat besar.

Padahal, pemimpin adalah aktor demokrasi yang menyupervisi, menetapkan aturan main bagi dunia usaha, dan bertanggung jawab atas mati-hidup jutaan rakyat Indonesia.

Itulah cikal bakal pemimpin berdaulat, pemimpin yang tidak memiliki interest bisnis dan ambisi pribadi. Ia tulus, jujur, dan benar-benar hadir untuk melayani rakyat. Pemimpin berdaulat memiliki nyali bernegosiasi seputar nasib rakyat berhadapan dengan raksasa korporasi.

Di saat dunia mengagungkan investasi raksasa, seperti pertambangan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, ia mampu menerapkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil, seperti menggerakkan sektor riil. Politik indifference juga sebagai strategi menyelamatkan SDA dari jarahan korporasi.

Negara yang hanya mengandalkan pertambangan untuk menggenjot pendapatan akan memerosotkan pertumbuhan sektor non-pertambangan (pertanian dan kelautan) yang menjadi tulang punggung rakyat. Pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen menjadi tak berkualitas karena ditopang industri ekstraktif, seperti tambang.

Jurang kesenjangan antardaerah menganga karena pemimpin sibuk mengurus tambang, tetapi absen membangun infrastruktur publik dan sektor kecil-menengah.

Padahal, model ekonomi pertumbuhan mengandaikan sumber daya alam yang tak terbatas, yang dikuras sampai tuntas dan mendorong penghancuran lingkungan tanpa mengenal keberlanjutan (sustainability).

Yang mencemaskan, banyak korporasi tambang asing menanamkan modal di Indonesia karena di negara asalnya tak diizinkan merusak lingkungan. Di Indonesia, mereka mudah membayar pejabat agar menambang di hutan lindung.

Konstitusi

Pemimpin baru harus benar-benar visioner dan berpegang teguh pada UUD 1945 untuk membangun perekonomian. Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan, perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Maka, pembangunan ekonomi termasuk pemanfaatan SDA adalah untuk kepentingan jangka panjang.

Pemimpin baru bijak menggunakan kekayaan alam, fokus amankan energi, penataan teknologi pertanian, air minum, dan keseimbangan lingkungan.

Pemimpin baru harus memiliki visi tentang masa depan pertambangan. Di masa depan, bahan tambang harus diolah di dalam negeri agar ada multiplier effect pembangunan. Indonesia harus menuju industrialisasi dan berhenti sebagai bangsa parasit yang menggantungkan industrinya pada pasokan bahan baku dari luar.

Dengan nikel dan bijih besi yang melimpah, saatnya pabrik kelas dunia dibangun agar industri otomotif tidak perlu mengimpor bahan baku dari luar.

Pemimpin baru harus mampu mereformasi hukum, mereformasi birokrasi, dan menggalakkan transparansi dan mendistribusikan hasil kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.

Akhirnya, presiden terpilih kita harus mampu menyelamatkan republik dari kehancuran dan politik penjarahan korporasi. Jangan sia-siakan kesempatan ini.

Ferdy Hasiman
Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta

Sumber: Kompas com, Kamis, 21 Agustus 2014 | 07:01 WIB
link: http://nasional.kompas.com/read/2014/08/21/07014921/Pemimpin.Berdaulat